Tujuh Bulan Sejak Kasus Bansos Mencuat

Tujuh Bulan Sejak Kasus Bansos Mencuat

PNS Dihantui Rasa Takut, Kinerja Pemerintahan Menurun \"RUDITrend positif penegak hukum di bidang tindak pidana korupsi di Kota Bengkulu tidak hanya menggembirakan, namun juga sekaligus meresahkan. Keresahan banyak dirasakan oleh para PNS khususnya setelah tujuh bulan kasus dana bantuan sosial tahun 2013 digeber oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu. Sejumlah pejabat bahkan mengaku keresahan tersebut sudah pada tahap mengganggu kinerja pemerintahan. RUDI NURDIANSYAH, Kota Bengkulu \"KERESAHAN tidak hanya dirasakan oleh para pejabat dan PNS yang dipanggil oleh pihak kejaksaan dalam kasus ini, tapi menjalar ke seluruh PNS lainnya. Banyak dari pejabat dan PNS mengaku tidak lagi tenang dalam bekerja.\" \"Saat ini, dalam benak kami para PNS, kesalahan sekecil apapun bisa mengantarkan kami ke penjara, atau paling tidak terus mengalami keringat dingin dan susah tidur karena menjadi langganan pemeriksaan aparat hukum,\" kata salah satu pejabat akuntasi Pemerintah Kota yang enggan namanya ditulis kepada BE, kemarin (12/2). Buah dari keresahan tersebut membuat kinerja pegawai Pemerintah Kota menurun. Suasana ketakutan PNS menjalar dengan cepat setelah adanya penetapan 6 orang tersangka, 2 tersangka baru, serta setelah banyaknya pemanggilan para saksi PNS meskipun sedikit sekali memiliki irisan dalam kasus Bansos tahun anggaran 2013 tersebut. Meski resah dan takut, sebagian besar pejabat dan PNS yang merasa tak bersalah tetap bersikap kooperatif dan memenuhi panggilan pihak aparat penegak hukum dengan sebaik-baiknya. \"Sebenarnya bukan hanya karena kasus Bansos, namun juga karena kasus masterplan yang menyeret mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Perumahan serta kasus Pasar Panorama yang menyeret mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Terbaru kasus \'Rajin Salat Berhadiah\' yang katanya berasal dari laporan masyarakat juga sedang diusut,\" imbuhnya. Tak berhenti pada pejabat dan PNS di lingkungan Pemerintah Kota, keresahan dan ketakutan yang sama menular ke DPRD Kota Bengkulu. Diketahui, baru-baru ini, pihak Kejaksaan juga tengah menyelami kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif DPRD Kota periode jabatan 2009-2014. \"Kasus ini hampir menyeret seluruh anggota dewan saat itu. Buktinya sudah lengkap dan kerugian negara dalam kasus itu juga sudah sangat terang benderang. Bila diusut dengan serius, kasus itu sebenarnya bisa segera tuntas,\" ungkap salah satu sumber BE di DPRD Kota yang lagi-lagi enggan namanya ditulis. Menanggapi fenomena ini, Direktur Insitute of Social Justice, Muammar Syarif, SH, mengatakan, memang ada korelasi yang kuat antara keresahan dan ketakutan yang dialami sejumlah pejabat dan PNS Pemerintah Kota dengan menurunnya kinerja pemerintahan. Menurutnya, ketika secara psikologis seseorang dihantui rasa takut bersalah, maka orang tersebut akan ragu-ragu dalam mengambil keputusan atau ditunjuk mengisi pos jabatan tertentu yang menyangkut dengan keuangan. \"Makanya sejak awal kami menilai bahwa tindakan aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini sudah kontraproduktif dengan upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik. Pertama, implikasi negatif terhadap roda pemerintahan dan pelayanan publik sudah pasti terganggu karena aparat hukum terlampau gegabah melakukan pemindanaan. Kedua, ada kesan aparat hukum mengabaikan aspek pembinaan yang seharusnya menjadi kewenangan BPK RI dan BPKP RI,\" kata Muammar. Ia menjelaskan, BPK RI dan BPKP RI merupakan pengawas eksternal terhadap kegiataan pemerintahan yang berperan penting dalam pelaporan, audit, dan juga perbaikan kinerja aparatus pemerintah. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Menpan dengan nomor SE/07/M.PAN/8/2007 tentang Penanganan Hasil Pemeriksaan BPK-RI, penegakan hukum harus dilakukan secara jelas dan proporsional, sehingga tidak mengganggu kinerja Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah. \"Pada poin ke IV dijelaskan bahkan agar penegak hukum tidak serta merta menggunakan temuan BPK sebagai bahan penyidikan atau upaya paksa sampai batas waktu penyelesaian temuan atau 60 hari setelah hasil pemeriksaan diterima, sesuai dengan Pasal 20 ayat 3, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggungjawab Keuangan Negara,\" lanjutnya. Pemeriksaan atau audit internal pemerintah ini penting dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada aparatur pemerintah untuk melakukan perbaikan administrasi. Karena kesalahan administrasi seringkali ditemukan dan itu bukan merupakan Tindak Pidana Korupsi. Penetapan tersangka sebelum hasil audit ini selesai menurutnya telah menabrak norma-norma dan nilai-nilai etika hukum yang baik. Apalagi setelah penetapan tersangka, penahanan PNS yang bersangkutan membuatnya tidak dapat memperbaiki administrasi. \"Saya ilustrasikan begini. Saya minta anda membelikan saya handphone di toko seluler dengan uang Rp 500 ribu. Namun setelah sekian lama saya diberitahu bahwa anda ternyata hanya membeli handphone seharga Rp 400 ribu. Kejam sekali kalau anda langsung saya tangkap. Harusnya saya tanya dulu ke toko seluler apakah benar harganya hanya Rp 400 ribu dan saya tanyakan kepada anda kemana uang yang Rp 100 ribu lagi. Bila anda menjawab untuk beli bensin, untuk menambal ban motor yang pecah, dan lain-lain dengan bukti-bukti yang sudah teruji di tempat-tempat anda bertransaksi, apakah anda masih layak saya jebloskan ke penjara? Ini mungkin hanya contoh sederhana tentang audit, tapi saya kira cukup mewakil,\" urainya. Oleh karena itu, tambah Mummar, dalam rangka menciptakan good-governance dan clean-government, maka sebaiknya penegakan hukum dilakukan dengan langkah dan proses yang benar, sehingga tidak menimbulkan keresahan dan mengganggu pelayanan publik. Selain itu, audit internal dan eksternal oleh Inpektorat, BPK RI dan BPKP RI, harusnya dihormati terlebih dahulu, sehingga menguatkan bagi penegak hukum dalam membuktikan dugaan kerugian negara. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: